Sabtu, 26 September 2009

HABIB SOLEH BIN ALI ALATTAS

Ta’lim:
Kitab Arba’in Nawawi Hadits ke-13
Diasuh oleh Alhabib Soleh bin Ali alattas
(dengan sedikit tambahan)


Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”.
[Bukhari no. 13, Muslim no. 45]
Demikianlah di dalam Shahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya” tanpa kata yang menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik saudaranya atau tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.
Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud kalimat “mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi :
“Sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.

Abu ‘Amr bin Shalah berkata: “Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam itu sebenarnya gampang dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara kami semua.
Abu Zinad berkata: “Secara tersurat Hadits ini menyatakan hak persaman, tetapi sebenarnya manusia itu punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia suka melebihkan dirinya. Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri, maka ia merasa dirinya berada di bawah orang yang diperlakukannya demikian. Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya dipenuhi dan tidak dizhalimi? Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna ketika seseorang berlaku zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada dirinya, ia segera menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.
Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah: “Jika anda menginginkan orang lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak menasihati orang itu karena Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang itu di bawah anda?” (tentunya anda tidak akan menasihatinya).
Sebagian ulama berpendapat: “Hadits ini mengandung makna bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai saudaranya sendiri sebagai tanda bahwa dua orang itu menyatu”.
Seperti tersebut pada Hadits lain:
“Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit, maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam dan tidak bisa tidur malam hari”.
Penerapan hadits ke-13 ini menjadi bahan renungan kita apakah selama ini kita sudah Amar ma’ruf Nahi Munkar?
Coba lihat sekeliling kita. Banyaknya masyarakat yang masih melakukan maksiat. Berjudi, minum minuman khamr, berzina, membuka aurat dan masih banyak lagi. Naudzubillahi mindzalika. Maka dari itu, jika kita sebagai muslim saja tidak bisa turut menarik dan meneguhkan saudara-saudara seagama untuk teguh memegang syariat. Bagaimana mungkin kita memiliki iman yang sempurna.
Siapakah Sahabat Nabi, Anas bin Malik ra?
Saking cintanya Seorang ibu yang bernama Ummu Salim terhadap Rasulullah SAW sampai-sampai ia menghadiahkan anaknya yakni Anas bin Malik ra untuk menjadi Khadim (pelayan) keperluan Rasulullah. Itu ia lakukan semata-mata sebagai rangka Fastabiqul Khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) antara sahabat Nabi dengan sahabat yang lainnya. Sahabat Anas yang datang ke Madinah waktu itu masih berumur sekitar 8 -10 tahun, atau dengan kata lain saat ia masih belum baligh. Sahabat Nabi yang satu ini mengabdi khidmah kepada Sang Nabi SAW selama sepuluh tahun. Itulah sebabnya Sahabat Anas menjadi salah satu bagian dari sanad rantai yang cukup banyak ditemui di hadits-hadits Nabi SAW disamping Sahabat Abu Hurairah atau Sayidatuna Aisyah ra.
Para Pelayan yang Mulia
Banyak Orang-orang soleh yang meneruskan cerita-cerita mulia layaknya Anas bin malik ra. Diantaranya Syekh Ali bin Abdullah Baros, Khodim dari Shohiburrotib Quthbil anfas Alhabib Umar bin Abdurrahman alattas, dan juga alhabib Alwi bin Syahab, Khodim dari Alhabib Abdurrahman Masyhur. Berkat keistiqomahan mereka melayani keperluan Syaikh mereka terutama saat Majelis ta’lim seperti menyediakan gahwa (kopi), mengambilkan kitab, dsb., akhirnya mereka mendapatkan anugrah dari Allah berupa kemuliaan atas nama mereka.
Sebagai contoh yaitu Syekh Ali bin Abdullah Baros yang terkenal dengan kealimannya selalu disandingkan namanya dalam tertib Fatihah Ratib alattas. Begitu pula alhabib Alwi bin Syahab yang terkenal akan kealimannya hingga ia dijuluki Ainuttarim (matanya Tarim). Kejadian yang mereka alami hamper sama yakni di penghujung khodimat mereka diperintahkan membuka mulut mereka kemudian sang Waliyullah yakni Syaikh mereka membuang liurnya ke mulut mereka. Hal ini pernah pula terjadi pada salah satu murid dari Syaikhuna KH. Maemoen Zubair yang sebelumnya dikenal sulit menghafal ilmu namun kini menjadi ulama yang besar namanya dengan kealimannya.
Hal-hal tersebut yang menginspirasi para ulama meneruskan tradisi Syukuran Kelahiran putra mereka dengan meminta Guru-guru dan para alim yang lain yang menghadiri untuk meremah-remah kurma dengan mulut mereka sehingga lumatan kurma itu dimasukkan ke dalam mulut sang Bayi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar