Sabtu, 26 September 2009

HABIB JINDAN BIN NOVEL BIN JINDAN

Bergembira menyambut kelahiran Rasulullah SAW
Ditulis oleh Admin di/pada 17 Maret 2008
Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Pujian terhadap Nabi Muhammad merupakan satu hal yang dilakukan oleh sahabat, bahkan di hadapan Rasulullah. Di banyak hadist disebutkan bahwa banyak orang dan penyair yang datang kepada Rasul dan mengucapkan syair yang berisikan pujian terhadap Rasulullah, maka Rasul pun menyambut mereka dan menghormati mereka, serta menyambut baik atas pujian mereka. Sebab beliau tahu bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendapatkan ridho beliau, yang mana mencari ridho Rasul merupakan jalan untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Dan mereka, para sahabat Rasulullah, bagaimana tidak memuji Rasulullah, sedangkan Allah sendiri memuji Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam.
Kegembiraan terhadap kelahiran Rasul merupakan hal yang baik di dalam syariat. Bahkan mengenang kisah kelahiran Nabi atau Rasul merupakan sesuatu yang dicontohkan oleh Allah dalam Al-Quran. Sehingga di dalam Al-Quran, Allah menceritakan tentang kelahiran Nabi Isa alaihi salam, juga tentang kelahiran Nabi Musa alaihi salam. Yang mana Allah menceritakan itu semua secara mendetail. Apabila Allah menceritakan kisah kelahiran mereka para Nabi, maka mengapa kita tidak boleh mengenang kisah kelahiran pemimpin sekalian Nabi dan Rasul?
Rasulullah menceritakan bahwa Allah Ta’ala meringankan adzab terhadap Abu Lahab di neraka pada setiap hari Senin, dikarenakan kegembiraannya atas kelahiran Nabi Muhammad sehingga ia membebaskan budaknya yang bernama Ummu Aiman yang membawa kabar gembira tersebut kepadanya. Hadist ini disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhori. Padahal Abu Lahab adalah seorang yang kafir yang disebutkan akan kebinasaannya di dalam Al-Quran, sehingga turun surat khusus untuk menceritakan tentang kebinasaannya. Akan tetapi Allah tidak melupakan kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhammad hingga meringankan adzab baginya setiap hari Senin, hari kelahiran Rasulullah.
Maka bagaimana halnya dengan seorang hamba yang mukmin, yang seumur hidupnya bergembira dengan kelahiran Rasulullah dan meninggal dalam keadaan Islam? Pastilah derajat yang besar bagi mereka. Sebagaimana Allah berfirman,
“Katakanlah (hai Muhammad) bahwa dengan karunia dan rahmat Allah, maka bergembiralah dengan hal itu, itu (kegembiraan kalian) lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Kegembiraan dengan rahmat dan karunia Allah dituntut oleh Al-Quran, dan kegembiraan tersebut lebih mahal dan lebih berharga dari apa yang dikejar-kejar dan dikumpulkan manusia, baik itu harta ataupun kedudukan.
Karena itu, di bulan kelahiran Rasul yang mulia ini, hendaknya kita memperkuat hubungan kita dengan Rasulullah, dengan menghidupkan sunnah beliau, mengenal riwayat hidup beliau, menanamkan kecintaan terhadap beliau, dalam lubuk hati kita serta keluarga kita, menjadikan Rasulullah sebagai idola yang tertinggi dan paling dekat dengan umat islam, serta memperbanyak shalawat kepada beliau.

===================================================================

Nisbah

Ditulis oleh Admin di/pada 10 Agustus 2008
Oleh :
Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Nasab atau nisbah, artinya adalah hubungan. Setiap orang tidak akan selamat di akhirat melainkan apabila mempunyai nisbah kepada Rasulullah. Selama ia tidak mempunyai nisbah kepada Rasul, maka orang tersebut celaka, celaka, celaka.
Jangan salah paham dulu!
Nisbah itu ada dua macam:


    1. Nisba thiniyyah
    2. Nisbah diniyyah


Nisbah thiniyyah artinya hubungan darah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang kita kenal mereka merupakan para sayyid atau syarif.
Nisbah diniyyah adalah hubungan agama dengan Rasulullah, dan itu adalah hubungan umumnya muslimin.
Nisbah thiniyyah tidak akan membawa manfaat apa-apa tanpa diiringi nisbah diniyyah, sebagaimana kita ketahui dari Allah dalam Al-Qur’an tentang anak Nabi Nuh. Dan manakala seseorang mempunyai kedua nisbah ini, maka sudah jelas dia lebih mulia daripada yang hanya mempunyai satu nisbah, sebab ini merupakan kemuliaan dari Allah Ta’ala yang telah menjadikan rumah tangga mereka sebagai rumah tangga ilmu dan kenabian, rumah tangga akhlak, serta syama’il dan kewalian. Manakala seorang sayyid telah memutus dirinya dari rumah tangga tersebut, maka ia akan hancur berkeping-keping dan menjadi hina, serta binasa.
Berkata seorang muhibbin kepada Habib Abdullah bin Husin bin Tohir,
“Ya Habib Abdullah, saya tidak bersedih kalau saya ini bukan seorang sayyid, sebab sayyid itu kedudukannya tinggi sejak ia dilahirkan. Apabila sayyid tersebut menyimpang berarti telah menjatuhkan dirinya dari tempat yang tinggi, seperti orang yang jatuh dari gunung pasti hancur berkeping-keping. Adapun saya kalau menyimpang, maka hanya seperti jatuh dari meja dan tidak terlalu parah.”
Berkata Habib Abdullah,
“Perkataan orang inilah yang telah mendorongku untuk tetap menjunjung tinggi nasabku dengan mengikuti jejak datuk-datukku.”
Kita melihat banyak sayyid sekarang yang hanya membanggakan nasab dan leluhurnya, akan tetapi menyimpang jauh dari jalan leluhurnya. Sayyid, tapi tidak sholat. Sayyid, tetapi tidak puasa. Sayyid, tapi tidak tahu syurutil wudhu. Bahkan tidak mengetahui sejarah Rasulullah, siapa anak-anak dan istri-istri beliau. Jadi kalau ada yang bilang, “Sayyid tidak tahu kalau dirinya sayyid,” maka inilah orangnya.
Habib Abdullah Alhaddad berkata,
ثم لا تغتر بالنسب لا ولا تقنع بكان ابي
Kemudian jangan tertipu dengan nasabmu, jangan!
dan jangan merasa puas dengan perkataan
“Dahulu ayahku begini atau begitu”
Dalam qasidah yang lain, beliau berkata,
لقد تأخر أقوام وما قصدوا نيل المكارم واستغنوا بكان ابي
Sesungguhnya telah ketinggalan suatu kaum,
yang mana mereka tidak berusaha mencapai kemuliaan dan kehormatan,
dan merasa cukup dengan ucapan-ucapan
“Dahulu ayahku orang besar, atau ini dan itu”
Dikatakan oleh Habib Umar bin Hafidz,
“Membanggakan mereka sebagai leluhur bagi orang yang berjalan mengikuti jejak mereka merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan. Adapun bagi orang yang menyimpang dari jalan mereka, merupakan ghurur/tertipu (memalukan).”
Paling tidak, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, maka tirulah sedikit demi sedikit dari amalan mereka.





===================================================================


Membanggakan leluhur yang shaleh

Ditulis oleh Admin di/pada 16 Juli 2008
Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Ketahuilah bahwa Rasul merupakan makhluk yang paling mulia, yang memuliakannya adalah yang Maha Mulia Subhanahu wa Ta’ala. Nabi-nabi dan para rasul merupakan manusia yang mulia, yang memuliakan juga Allah Ta’ala. Malaikat merupakan makhluk yang mulia, yang memuliakan mereka juga Allah Ta’ala.
Di antara semua makhluk, Allah ingin memuliakan manusia, dan tidak ada yang berani memprotesnya kecuali Iblis dan kita tahu apa akibat yang diterimanya yang berupa laknat sampai hari kiamat.
Dalam hadist shahih yang juga disebutkan oleh Ibnu Hajar di kitab Bulughil Maram bahwa Ar-Rasul menyatakan,
“Allah memilih bangsa Arab untuk memuliakan mereka. Lantas di antara bangsa arab Allah memilih Qurays. Di antara Qurays, Allah memilih Bani Hasyim. Di antara Bani Hasyim, Allah memilihku. Maka aku merupakan terbaik dari kelompok terbaik dari golongan terbaik.”
Shallallahu alaihi wasallam…
Disini Rasulullah membanggakan dirinya karena berasal dari keturunan terbaik dan merupakan manusia terbaik, dan kebanggaan bukan berarti sombong. Sebab kalau tidak, Nabi akan dituduh sebagai orang yang sombong karena terlalu membanggakan dirinya.
Sayyidina Yusuf alaihis salam membanggakan orangtua-orangtuanya sebagaimana mana dikisahkan oleh Allah Ta’ala tatkala Yusuf mengatakan,
“Dan aku mengikuti ajaran ayah-ayahku,”
seraya menyebutkan nama nama merek,
“Dan aku mengikuti agama ayah-ayahku Ibrahim, Ishak dan Ya’qub…” ( QS. Yusuf:38 )
Kalau Nabi Yusuf menyebutkan dan membanggakan ayah-ayahnya para nabi, maka kenapa seorang sayyid (keturunan Rasulullah SAW) yang shaleh tidak boleh membanggakan leluhurnya para wali sampai kepada pemimpin dari seluruh para nabi dan rasul, makhluk yang paling mulia di dunia dan di akherat, yaitu Nabi Muhammad SAW?
Allahumma na’am, bahwa membanggakan para leluhur yang shaleh bagi orang-orang yang menyimpang dari jalan mereka serta tidak mengikuti jejak mereka, merupakan suatu hal yang memalukan bagi orang tersebut dan itu dinamakan ghurur (tertipu) dan ahmaq (tolol).
Adapun bagi orang-orang yang mengikuti jejak mereka (leluhurnya yang shaleh), lantas membanggakan mereka dan mengatakan bahwa yang dianutnya adalah ajaran mereka, maka hal tersebut merupakan suatu kehormatan dan hal yang mulia dan dipuji oleh Allah Ta’ala.
Adapun takabbur (sombong) maka itu sama sekali dilarang di dalam syariat, baik dari sayyid ataupun bukan, bahkan nabi-nabi pun tidak boleh berbuat demikian, sebagaimana kita membaca di banyak cerita dan buku. Sedangkan mutakabbir (orang yang sombong) adalah yang menganggap bahwa dirinya lebih baik dari salah satu makhluk ciptaan Allah Ta’ala1. Hal itu berbeda dengan tahaddust bin ni’mah (menceritakan nikmat Allah Ta’ala) sebagaimana yang dianjurkan Allah di akhir surat Ad-Dhuha.
Di lain pihak, sekalipun Allah meminta kepada kita untuk mencintai para kerabat Rasulullah, maka bukan berarti membolehkan kepada kerabat Rasul untuk menyombongkan diri mereka dengan nikmat yang diberikan Allah Ta’ala. Dan perlu diingat bahwa hubungan yang paling bermanfaat dengan Nabi adalah hubungan agama, ajaran, akhlak dan budi pekerti. Sedangkan hubungan darah tanpa hubungan tersebut sama hasilnya seperti anak nabi Nuh AS. Dan tanpa diragukan bahwa manakala kedua hubungan dapat dipadukan dalam diri seorang sayyid, maka jelas lebih baik dan lebih mulia dari pada satu hubungan saja. Disinilah pemberian Allah Ta’ala yang diberikan kepada siapa yang Dia inginkan dari hamba-Nya. Tidak ada yang bisa mencegah pemberian Allah Ta’ala dan tidak ada yang boleh memprotesnya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya dan kepada siapa”
“(Dia) tidak dipertanyakan akan perbuatan-Nya, dan mereka (para hamba-Nya) yang justru akan dipertanyakan atas perbuatan mereka”
1. Berdasarkan artian takabbur menurut sebagian salaf


=====================================================================

Mau berfatwa?

Ditulis oleh Admin di/pada 30 Mei 2008
Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Ini mungkin akan membuat seseorang agar lebih berhati hati di dalam berbicara, apalagi berfatwa. Kalau Imam Malik ulama besar seperti ini, maka sekarang banyak orang yang nama 25 rasul yang disebutkan di Al-Qur’an saja tidak hafal, bahkan syurut istinja’ belum hafal, akan tetapi berani berbicara dalam syariat seenak perutnya dan berfatwa berdasarkan pendapatnya. Syariat bukan, “menurutku… menurutmu…” dan bukan pula, “pendapat saya… perasaanku…”
Akan tetapi,
“Barangsiapa berbicara akan Al-Qur’an menurut pendapatnya (dalam riwayat yang lain : tanpa didasari ilmu), maka bersiap-siaplah akan singgasananya di neraka” (Hadist).
Begitu juga dalam hadist dan syariat islam. Tapi zaman sekarang, pedagang pun bicara hukum, bahkan peminum dan zindiq. Ini kata ulama…., bagaimana kata antum?
Imam Malik R.A. adalah seorang ulama besar dan pemimpin mazhab, dan beliau dijuluki Imam Dar al Hijra. Akan tetapi sekalipun beliau seorang muhaddist dan faqih, beliau sangat berhati hati di dalam berfatwa. Sehingga suatu kali seseorang datang dari baghdad ke Madinah khusus untuk bertanya kepada Imam Malik akan beberapa masalah (lihatlah semangatnya orang dulu, jalan jauh jauh dari Baghdad hanya untuk beberapa masalah. Orang sekarang kadang majlis di depan rumahnya akan tetapi tidak hadir). Maka orang tersebut mengajukan lebih kurang 18 masalah. Tiga di antaranya dijawab oleh Imam Malik, sedangkan yang lain beliau hanya mengucapkan,
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.” (lihatlah bagaimana beliau berhati hati di dalam berfatwa, dan tidak malu untuk mengucapkan sesuatu yang belum pasti dengan kalimat, “Aku tidak tahu”)
Maka orang tersebut berkata,
“Ya Imam Malik, aku datang jauh-jauh hanya untuk menanyakan kepadamu masalah ini, sedangkan engkau hanya mengucapkan tidak tahu?”
Berkata Imam Malik,
“Dari mana engkau datang?”
Jawabnya,
“Aku datang dari Baghdad.”
Imam Malik,
“Masjid mana yang menaranya paling tinggi di Baghdad?”
Lalu ia menjawabnya seraya menyebutkan nama suatu masjid yang paling tinggi menaranya di Baghdad.
Lantas berkata Imam Malik berkata,
“Bila engkau pulang ke Baghdad, pergilah ke masjid tersebut dan naiklah kepuncak menaranya, lantas berteriaklah dengan sekuat suaramu agar semua orang mendengar bahwa Malik bin Anas adalah orang yang paling bodoh.”


========================================================================


Mensuri-tauladani seorang sosok Ahlul Bait


2 November 2008
Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Al-Habib Abdullah bin Husein Bin Thohir seorang Ahlil Bait yang tumbuh di rumah dan keluarga ilmu. Beliau beserta saudaranya Al-Habib Thohir bin Husein Bin Thohir dididik pula oleh bibinya yang juga merupakan ulama besar, bahkan menghapal kitab Minhaj, sekalipun ia seorang wanita. Akan tetapi pada zaman keemasan tersebut ilmu bukan hanya dikuasai oleh para kaum lelaki saja, tetapi bahkan oleh kaum perempuan juga. Sehingga diantara didikan yang diberikan bibinya kepada Al-Habib Abdullah bin Husein Bin Thohir dan Al-Habib Thohir bin Husein Bin Thohir,

“Seandainya kalian berdua mengamalkan adab dan sunnah ketika masuk ke dalam kamar mandi, maka akan nampak pada wajah kalian cahaya ilmu.”

Al-Imam Abdullah bin Umar Bin Yahya, keponakan beliau, ditanya,

“Bagaimanakah engkau mendapati kedua pamanmu, Abdullah bin Husein Bin Thohir dan Thohir bin Husein Bin Thohir?”

Maka dijawab oleh beliau,

“Adapun pamanku, Thohir bin Husein Bin Thohir, maka telah terkumpul di dalam dirinya seluruh sifat dan persyaratan menjadi Al-Imamatul ‘Udzma (pemimpin tertinggi dalam kaum muslimin). Sedangkan pamanku, Abdullah bin Husein Bin Thohir, maka beliau telah menghiasi dirinya dengan al-munjiyaat (seluruh sifat-sifat yang beruntung dan mulia) dan membersihkan dirinya dari al-muhlikaat (seluruh sifat-sifat yang membinasakan dan kotor), serta sifat beliau sebagaimana yang ada dalam kitab Ihya Ulumuddin (kitab karangan Ghazaly yang banyak disukai oleh ulama Ahlil Bait), bahkan lebih lagi.”

Beliau, Al-Habib Abdullah bin Husein Bin Thohir, meninggal dunia di kota Masilah, Hadramaut, dan dimakamkan di kota tersebut. Saat menjelang ajal, beliau dalam keadaan sakaratul maut didampingi dengan isteri beliau yang setia. Seraya isterinya men-talqin-kan beliau kalimat tauhid untuk mengingatkan beliau. Maka tiba-tiba beliau membuka matanya dan menoleh ke arah isterinya, sambil berkata,

“Apabila tujuanmu adalah berzikir kepada Allah, maka berzikirlah sesukamu. Akan tetapi bila tujuanmu untuk mengingatkanku dan men-talqin-kanku, maka engkau tidak perlu kuatir, sebab kalimat La Ilaha IllAlah telah bercampur dengan dagingku, tulangku dan darahku, serta kulitku dan sumsumku.”

Lihatlah akan keagungan Ahlil Bait ini. Bagaimana kalimat tauhid tidak bercampur dengan jasad beliau, sedangkan setiap hari beliau hidup dengan kalimat tauhid tersebut dan membaca setiap harinya 25 ribu kali kalimat “Laa Ilaha Illallah“, dan 25 ribu kali dzikir “Ya Allah, Ya Allah“, dan 25 ribu kali shalawat kepada Rasulullah serta Ahlul Baitnya dan sahabatnya, ditambah dengan Al-Qur’an sebanyak 10 juz ketika Dhuha dan 10 juz ketika Witir. Sungguh luar biasa keagungan Ahlil Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

==================================================================

Masih ada kesempatan – 1

9 September 2009
Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Doa-doa yang dianjurkan oleh Rasulullah di bulan Ramadhan adalah
أشهد أن لا اله الا الله استغفرالله نسألك الجنة ونعوذ بك من النار
“Asyhadu allaa ilaaha illallah, astaghfirullah, nas alukal jannata wa na’udzu bika minan naar” (3 kali)
اللهم إنك عفوّ تحب العفو فاعفو عنا
“Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘annaa” (3 kali)
Perbanyaklah doa ini, terlebih-lebih sebelum berbuka puasa dan sebelum subuh.
Ramadhan adalah bulan Al-Quran. Ulama menganjurkan untuk banyak mengkhatamkan Al-Quran di bulan ini sekurang-kurangnya satu kali. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
Malam pertama di bulan Ramadhan dianjurkan untuk sholat empat rekaat dan membaca surat Al-Fath di dalam empat rekaat tersebut, satu muqra’ setiap rekaatnya. (Sekalipun sudah lewat, akan tetapi kita masih bisa berniat untuk tahun yang akan datang)
Sayyidatuna ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apabila aku mengetahui letaknya malam Lailatul Qadr, maka doa apakah yang hendak aku baca?.” Dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Bacalah, wahai ‘Aisyah,
أللّهمّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفوَ فاعْفُ عَنّي
‘Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘annaa’ “
(”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan menyukai maaf, maka maafkanlah aku”)
Disunnahkan sekali untuk menggiatkan ibadah di bulan Ramadhan lebih dari bulan-bulan lainnya. Dan terlebih lebih pada sepuluh hari terakhir.
Jangan tinggalkan sholat Tarawih sebanyak 20 rekaat setiap malamnya. Di dalam Hadist disebutkan,
“Barang siapa bangun di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala, maka niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau.”
Bangun di bulan Ramadhan artinya adalah sholat Tarawih.


Tata krama di dalam berpuasa
Ketahuilah bahwa di dalam berpuasa terdapat adab dan tata krama yang mana tidak sempurna puasa seseorang tanpa tata krama tersebut. Di antara tata krama yang terpenting ialah memelihara lidah untuk tidak berdusta, mencaci orang, mencampuri urusan orang lain, mengekang mata dan telinga dari mendengar dan melihat sesuatu yang tidak halal dan dipandang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Dan hendaknya menahan perutnya dari memakan makanan yang syubhat, apalagi yang haram, terutama ketika sedang berbuka puasa. Sebagian salaf berkata, “Jika anda berbuka puasa, maka perhatikanlah dengan makanan yang bagaimanakah anda berbuka dan di tempat siapakah anda berbuka.” Ini merupakan anjuran untuk berjaga-jaga dan memperhatikan makanan berbuka kita.
Orang yang berpuasa juga harus memelihara seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan dosa, dan menjauhkannya dari segala urusan yang tidak menyangkut dirinya. Dengan demikian sempurna dan bersihlah puasanya. Sebab berapa banyak orang yang berpuasa, akan tetapi membiarkan anggota tubuhnya terjerumus didalam kemaksiatan. Rasulullah bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapat apa-apa dari puasanya melainkan hanya lapar dan haus.” Meninggalkan maksiat menjadi kewajiban bagi orang yang berpuasa dan tidak berpuasa, hanya saja orang yang berpuasa lebih wajib untuk memelihara diri dan lebih dituntut.
Di antara adab puasa yang lain adalah hendaknya orang yang berpuasa tidak terlalu banyak tidur di siang hari, dan tidak terlampau banyak makan di malam hari. Hendaknya bersahaja di dalam kedua perkara ini agar bisa merasakan pedihnya lapar dan dahaga. Dengan begitu kelak jiwanya akan terdidik, nafsu syahwatnya akan terkendali dan hatinya akan bercahaya. Disitulah terletak rahasia dan tujuan puasa yang sebenarnya.
Selanjutnya hendaknya mengurangi segala rupa kemewahan dengan makanan dan minuman yang membangkitkan selera sebagaimana kebiasaan ahli zaman. Sekurang-kurangnya ia tidak melebihkan kebiasaannya di bulan Ramadhan dalam memenuhi selera, bahkan sama dengan bulan-bulan yang lain. Itulah sekurang-kurangnya yang patut dilakukan.
Dan hendaknya di bulan Ramadhan tidak terlalu menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia. Akan tetapi membenamkan dirinya untuk beribadah kepada Allah dan berdzikir dengan semampunya. Tidak menyibukkan diri dengan urusan dunia melainkan sekadar mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Sebab bulan Ramadhan terhadap bulan-bulan lainnya sama seperti hari Jumat terhadap hari-hari lainnya, maka wajarlah seorang mukmin untuk mengkhususkan hari Jumat dan bulan Ramadhan untuk mencari bekal akheratnya.
Di antara adab dan tata krama berpuasa adalah dengan menyegerakan berbuka puasa apabila telah tiba waktunya. Dan sebaiknya berbuka dengan buah kurma, dan jika tidak ada mulailah dengan air.
Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa berbuka puasa dahulu sebelum menunaikan shalat maghrib. Beliau bersabda, “Umatku senantiasa tetap berada didalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur.”
Nyatalah bahwa mengakhirkan makan sahur (selama tidak ragu akan terbitnya fajar) adalah sunnah bagi orang yang berpuasa.
Hendaknya orang yang berpuasa membiasakan diri makan sedikit dan tidak berlebihan, sehingga bisa merasakan pengaruh puasa itu atas dirinya. Kelak ia akan menemukan rahasia-rahasia dan tujuan puasa, yaitu mendidik jiwa dan mengurangi nafsu syahwat. Sebab, berlapar diri dan mengosongkan perut bisa meninggalkan pengaruh yang baik untuk menerangi hati nurani dan membangkitkan semangat pada anggoa badan untuk beribadah. Manakala kenyang perut merupakan sumber kelalaian dan bekunya hati, disamping menimbulkan perasaan malas untuk beribadah.

SUNNAH
Termasuk sunnah yang sangat dianjurkan ialah membantu orang yang berpuasa untuk berbuka puasa sekalipun dengan beberapa butir kurma atau seteguk air minum. Nabi bersabda, “Barangsiapa menjamu orang yang berpuasa untuk berbuka puasa, maka baginya pahala puasa dari orang yang dijamunya, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.”   Pahala ini bagi orang yang mengundang berbuka puasa saja meski hanya dengan segelas air. Adapun orang yang mengundang makan setelah berbuka di rumahnya, atau mengundang makan di waktu yang lain, maka tidak mendapatkan pahala yang besar ini. Dia hanya mendapatkan pahala mengundang makan saja, dan pahalanya pun besar pula.

Shalat Tarawih
Shalat Tarawih yang dikerjakan setiap malam di bulan Ramadhan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan. Banyaknya adalah dua puluh rekaat sebagaimana ijma’ para sahabat, yang tidak lain bahwa kesepakatan mereka bersumber dari Rasulullah. Dahulu para salaf membaca Al-Quran dari awal hingga akhir di dalam shalat Tarawih mereka, sekadar kemampuan mereka, hingga mengkhatamkannya pada malam-malam tertentu di bulan Ramadhan. Barangsiapa mampu meneladani mereka hendaknya mengerjakannya. Barangsiapa tidak berkesempatan, maka hendaknya ia berhati-hati dan tidak menganggap enteng shalat Tarawih ini sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang bodoh yang telah mengabaikan sesuatu rukun yang wajib di dalam shalat itu, seperti meninggalkan thuma’ninah pada ruku’ dan sujud karena terlampau cepat, atau tidak memperhatikan bacaan Fatihah menurut petunjuk yang harus dilakukan, karena ingin segera selesai.

Keutamaan sepuluh hari terakhir
Diriwayatkan bahwa Rasulullah menggandakan amal di bulan Ramadhan melebihi bulan-bulan lainnya. Dan pada masa sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, beliau lebih giat lagi dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Beliau juga menganjurkan kepada kita untuk mencari malam Lailatul Qadar pada malam-malam sepuluh hari yang terakhir itu pula. Para ulama berkata, bahwa kemungkinan terjadinya Lailatul Qadar itu pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Tegasnya setiap mukmin harus selalu bersiap-siap untuk Lailatul Qadar pada setiap malam dari bulan Ramadhan, dengan memperbanyak amal saleh. Kelak jika malam Lailatul Qadar itu tiba, maka ia sedang sibuk dengan amalannya, sedang sibuk berdzikir kepada Allah, tidak lalai atau lupa.
Apabila demikian sikapnya pada setiap malam Ramadhan, maka ia tidak perlu menunggu-nunggu malam tersebut, baik ia melihatnya maupun tidak. Sebab, orang yang taat beramal di malam Lailatul Qadar itu, amalannya menjadi lebih utama dari amalan seribu bulan, tanpa memandang apakah ia menyaksikan malam itu ataupun tidak. Hanya saja dianjurkan agar ia menyiapkan diri untuk mencari Lailatul Qadar dengan beramal saleh pada setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, agar amalannya terliput dalam malam Lailatul Qadar.


Rupa dan ruh puasa
Perlu diketahui bahwa puasa mempunyai rupa dan ruh. Rupa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan bersetubuh, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan disertai niat. Barangsiapa makan minum dan bersetubuh pada siang harinya, sedang ia melakukannya dengan sengaja, mengetahui hukum dan bukan terpaksa, maka batallah puasanya. Tetapi jika ia lupa, atau tidak mengetahui hukumnya, ataupun terpaksa, maka puasanya tidak batal.
Adapun halnya ruh puasa ialah menahan diri dari segala dosa dan larangan Allah Ta’ala dan senantiasa mengerjakan segala yang wajib.
Orang yang berpuasa dari makan, minum dan bersetubuh, tetapi tidak menahan diri dari dosa dan larangan Allah Ta’ala, maka puasanya tidak menghasilkan faedah apapun selain susah payah belaka. Karena itu jika berpuasa, hendaknya anda memperbaiki puasanya. Demikian pula terhadap semua amalan anda, hendaknya anda tekun memperbaikinya, menyempurnakannya dan mengarahkannya kepada Allah Ta’ala, dengan penuh tulus ikhlas, sehingga Allah Ta’ala memberikan manfaat dari semua amalan itu kepada kita, dan kita memperoleh balasan yang besar dariNya, ketika kita kembali kepadaNya.

Shalat Tasbih
Shalat Tasbih merupakan satu sunnah yang dianjurkan agama, yaitu empat rekaat. Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan keutamaan shalat ini. Dan barangsiapa mengerjakannya, akan diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada pamannya Abbas, “Kerjakanlah shalat Tasbih sekali setiap hari, atau setiap Jumat, atau setiap bulan sekali, atau setiap tahun sekali, atau sekali seumur hidup.”
Shalat Tasbih tersebut bisa dikerjakan empat rekaat sekaligus dengan satu salam, atau dua raka’at dua rekaat dengan dua salam.
Caranya adalah : Pertama, setelah takbiratul ihram, dilanjutkan dengan doa Iftitah. Setelah itu membaca tasbih sebanyak 15 kali. Kemudian membaca Al-Fatihah dan surat sesudahnya, lalu bertasbih sebanyak 10 kali. Kemudian ruku’ dan membaca tasbih sebanyak 10 kali. Lalu i’tidal dan membaca tasbih sebanyak 10 kali. Kemudian sujud dan membaca tasbih 10 kali. Lalu duduk antara dua sujud dan membaca tasbih sebanyak 10 kali. Lantas sujud lagi dan bertasbih 10 kali. Itulah satu rekaat dengan jumlah tasbih sebanyak 75 kali. Maka di dalam shalat Tasbih menjadi 300 kali tasbih. Tasbih yang dibaca adalah:
سبحان الله، والحمد لله، ولا اله الا الله، والله أكبر
Dan setelah selesai shalat Tasbih maka membaca doa shalat Tasbih yang disebutkan oleh para salaf, yaitu:
أللهم إنا نسْألك التوْفِـيْق أهْـل الهُدَى، وَأعْمَالَ أهْـل اليَقِيْن، وَمُناصَحَة أهْل التوْبَةِ، وَعَزْمَ اهْـل الصَّبْر، وَجَدَّ أهل الخشيَةِ، وَطلَبَ اهْل الرَّغبَةِ، وَتعَبّدَ اهل الوَرَع، وَعُرْفانَ اهل العِلْم حَتَّى نخافك. اللهُمَّ إنا نَسْألكَ مَخافة تَحْجُزنا عَن مَعَاصِيْك حَتَّى نَعْمَلَ بطاعَـتِـك عَمَلا نَسْتَحِقُّ بهِ رضَاكَ، وَحَتّى نُنَاصِحُكَ بالتَوْبَةِ خَوْفاً مِنْكَ، وَحَتّى نُخلِصُ لَكَ النّصِيْحَة حَيَاءً مِنكَ، وَحَتّى نتوَكّلَ عَلَيْكَ فِيْ الأمُوْر كُلّهَا حُسْنَ ظنّ بكَ، سُبْحَانَ خَالِق النّوْر. وَصَلّى اللهُ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبهِ وَسَلَّمْ وَالحَمْدُ لله رَبِّ العَالَمِيْن.
Shalat Tasbih dikerjakan secara sendiri-sendiri, dan boleh dilakukan secara berjamaah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama salaf. Dan tidak ada larangan yang melarang berjamaah dalam shalat Tasbih.

Kitab Nashaih Diniyyah, karangan Habib Abdullah bin Alwi AlHaddad.
Disusun oleh Jindan bin Novel bin Jindan, semoga Allah memaafkannya dan membukakan hatinya, amiin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar